Jumat, 11 Desember 2009

Konservasi Hutan Batang Toru Dilakukan Melalui Badan Pengelola

Kesepakatan Multipihak 3 Kabupaten
Konservasi Hutan Batang Toru
Dilakukan Melalui Badan Pengelola
• Diperkuat dengan SK Gubernur
Medan (4/12)
Setelah melalui proses dialog yang berlangasung alot, akhirnya para pihak yang berkepentingan dalam pemanfataan dan perlindungan Hutan Batang Toru menyepakati agar pengelolaan kolaboratif Hutan Batang Toru Blok Barat (HBTBB) dilakukan melalui kelembagaan Badan Pengelola (BP) yang pembentukannnya ditetapkan melalui surat keputusan (SK) dari pemerintah.
Kesepakatan itu dicapai dalam Lokakarya Pemilihan Bentuk Kelembagaan Kolaboratif yang difasilittasi oleh Orangutan Conservation Service Program (OCSP) di Sibolangit, 2-3 Desember 2009. Lokakarya ini dihadiri oleh perwakilan dari lembaga adat, LSM, tokoh masyarakat, perusahaan pemegang izin konsesi lahan, dan unsur pemerintah daerah (dinas kehutanan dan dinas lingkungan hidup) dari tiga kabupaten yang wilayahnya meliputi kawasan HBTBB, yakni Kabupaten Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah dan Tapanuli Utara.


Sejalan dengan terpilihnya bentuk kelembagaan kolaboratif HBTBB, peserta juga membentuk Tim Inisiator yang diketuai oleh Djati Witjaksono Hadi (Kepala BBKSDA Sumut), dengan tugas inti mensosialisasikan konsep kelembagaan Badan Pengelola HBTBB kepada lembaga-lembaga terkait, menegosiasikan upaya pembentukan kelembagaan BP HBTBB kepada banyak pihak, dan mengorganisasikan lokakarya pembentukan struktur dan pengurus BP HBTBB
Sebelumnya, peserta mendiskusikan tiga opsi bentuk kelembagaan, antara lain berbentuk yayasan/perkumpulan tanpa SK pemerintah, bentuk yayasan/perlumpulan dengan SK dari pemerintah, atau badan pengelola yang pembentukannya ditetapkan melalui SK dari pemerintah, terutama SK Gubernur Sumatera Utara (Gubsu). Opsi terakhir menjadi pilihan ideal karena lebih terbuka, fleksibel, adaptif dan akuntabel. Pembentukan BP HBTBB dengan pelibatan masyarakat dan penetapan dengan SK Gubsu akan membuat lembaga kolaboratif ini mendapat legitimasi dan dukungan politik yang kuat.
Wakil Ketua Tim Inisiator Pembentukan BP HBTBB, Erwin Alamsyah Siregar, mengatakan lingkup kewengan HBTBB antara lain meliputi penguatan ekonomi masyarakat, revolusi hijau, kampanye dan penyadartahuan, penguatan kearifan tradisional, pendidikan lingkungan bermuatan lokal bagi sekolah, dan kampanye penyadartahuan tentang pentingnya pemanfataan hutan Batang Toru secara lestari.
Deputi Koordinator OCSP Regional Sumattera, Pahrian SIregar, mengatakan BP HBTBB bersifat adaftif terhadap skenario perubahan status fungsi kawasan hutan Batang Toru ke depan, baik menjadi hutan lindung, taman hutan raya (Tahura) atau tetap dengan status kawasannya selama ini. Saat ini, fungsi hutan di kawasan HBTBB beragam status, antara lain cagar alam (CA), hutan produksi terbatas (HPT), hutan produksi (HP), dan area penggunaan lain (APL) atau kawasan budidaya bukan hutan.
Apapun status fungsi kawasan hutan Batang Toru yang ditetapkan pemerintah ke depan, katanya, tidak akan berpengaruh terhadap eksistensi Badan Pengelola HBTBB. Artinya, jika kelak pemerintah menetapkan status fungsi hutan Batang Toru menjadi hutan lindung atau Tahura HBTBB dan membentuk unit pelaksana teknisnya (UPT), toh UPT ini tetap merupakan bagian dari keanggotaan BP HBTBB.
“BP HBTBB tidak mengambil alih tugas UPT. Sebaliknya akan mendorong dan membantu tugas-tugas UPT, sehingga bisa lebih efektif dan optimal,” tegas Pahrian Siregar.
Lingkup kewenangan UPT yang akan dikoordinasikan dan didukung oleh BP HBTBB antara lain pengelolaan zonasi kawasan hutan dan kawasan konses/pemanfaatan, manajemen penelitian, peningkatan kapasitas SDM Amdal, patroli pengamanan hutan, mediasi konflik dengan satwa, penanggulangan kebakaran hutan, jalur hijau/sekat bakar, penyuluhan, dan pengelolaan pusat informasi.
Seperti ketahui, Pemerintah Provinsi Sumatera Utara juga telah menetapkan kawasan HBTBB sebagai salah satu daerah prioritas dalam pelestarian keragaman hayati di Indonesia, terutama Orangutan Sumatera (Pongo abelii) dan Harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrae).
Selama ini banyak pihak berkepentingan terhadap eksistensi HBTBB, terutama masyarakat dan dan sektor swasta. Bagi masyarakat di sekitarnya, HBTBB merupakan kawasan penting. Kurang lebih 344.520 jiwa atau 81.870 Kepala Keluarga yang menerima manfaat dari eksistensi kawasan Batang Toru. Sementara tidak sedikit pula perusahaan yang memanfaatkan sumber daya alam HBTBB, antara lain PLTA Sipansihaporas di Tapanuli Tengah yang memiliki kapasitas 50 megawatt (MW); Konsosium Medco, Itochu, dan Ormat yang sedang melakukan eksplorasi panas bumi di Sarulla, Kabupaten Tananuli Utara dengan potensi energi listrik 335 MW; dan PT Agincourt Resources Australia yang tahun depan akan mengekploitasi tambang emas di Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan. Jika tidak dikelola dengan manajemen yang baik dan terpadu, dikhawatirkan akan muncul konflik kepentingan dan ancaman yang lebih besar terhadap sumber daya alam dan keragaman hayati di kawasan hutan ini. ##


NB: Untuk informasi lebih lengkap, dapat menghubungi kontak person di bawah ini:
Erwinsyah
Communication Specilaist Coordinator
OCSP Regional Sumatera
HP: 081263610034
Email: erwinsyah@dai.com

Orangutan Conservation Services Program
Jl. Slamet Riyadi No. 6 Medan 20152, North Sumatra - Indonesia
Tel. 62 61-4531007 Fax: 62 61- 4512884



Jumat, 10 Juli 2009

Perjalanan Ikan Jurung Keramat, Danau Siais Dan Aek Batangtoru

Home

Kamis, 15 Januari 2009 | 09:38:44

Menyusuri Pedalaman Tapsel

Ikan Jurung Keramat, Danau Siais, dan Aek Batang Toru
Sebuah keajaiban bertahan selama hampir satu abad di desa Rianiate, Kecamatan Padangsidimpuan Barat, Tapanuli Selatan. Ribuan ikan jurung berukuran sampai 50 cm dengan berat mencapai 2 kg lebih, hidup liar dalam sebuah sungai kecil dan dangkal yang mengalir di belakang rumah penduduk. Bila kemarau tiba dan debit sungai mengecil, hanya 1/3 dari tubuh ikan-ikan itu yang benam dalam air. Gampang sekali menangkapnya. Tapi penduduk tidak memakan atau mengganggunya. Sebuah kepercayaan keramat telah menyelamatkan mereka dari kepunahan.






Kebelet menyaksikan pemandangan ajaib ini? Tidak gampang! Desa Rianiate adalah desa pedalaman yang terisolir dari darat dan merupakan pemukiman terakhir ke arah pesisir timur Kabupaten Tapsel. Jalan daratnya melewati beberapa puncak perbukitan dengan bebatuan yang sudah dibungkus lumpur. Saat ini, praktis tidak ada mobil yang berani masuk. Bahkan kendaraan roda dua pun sangat jarang melintas, sehingga rerumputan mulai tumbuh di bekas lindasan roda.

Dari Padangsidimpuan, ibu kota Tapsel, simpang menuju desa Rianiate dicapai dengan melewati jalur beraspal Padangsidimpuan-Sibolga selama satu jam perjalanan. Sebelum mencapai jembatan Batang Toru, terdapat tempat wisata pemandian Aek Parsariran. Kita bisa beristirahat atau mandi-mandi di sini, karena Parsariran memang sudah dikelola sebagai lokasi wisata dan pemerintah sudah membangun fasilitas-fasilitas seperti pondok-pondok, ruang ganti, mushalla, dan toko-toko jualan.

Dari Parsariran, simpang Rianiate hanya berjarak sekitar 3 km, persis sebelum jembatan Aek Batang Toru. Kita harus berbelok ke kiri dan melanjutkan perjalanan melewati desa Hapesong dan perkebunan milik swasta. Sampai beberapa kilometer ke dalam, kondisi jalan masih bagus. Setelah itu, jalan sudah berbatu dan berlobang, meski masih dilewati satu dua angkutan pedesaan.

Segalanya menjadi suram dan sulit begitu sampai di desa Simataniari. Dari sini, perjalanan mulai mendaki dengan batu-batunya yang tajam dan besar. Satu gugusan pegunungan lagi harus dilalui dengan perjalanan sulit yang memakan waktu sekitar tiga jam. Penduduk sekitar melewatinya dengan berjalan kaki, termasuk anak-anak SD dari desa Bahung yang berlokasi di sebuah lembah di balik gunung tersebut.

“Cuma di sana SD paling dekat. Aku sama kawan-kawan sudah biasa melewati gunung, tapi karena jalannya curam dan berlumpur, kami nggak bisa pakai sepatu,” kata Dalian, seorang siswa SD kelas 6. Desa Bahung hanyalah pemukiman yang berisi belasan rumah dan satu gereja kecil. Sekitar 30-an anak SD tetap bersekolah meski harus melewati hutan dan gunung tiap hari.

Dari Bahung ke desa Rianiate, badan jalan makin menyempit dengan beberapa jembatan kayu yang sudah bobrok. Perkampungan terakhir di pinggiran Danau Siais itu menampilkan suasana masa lalu. Sebagian besar rumah penduduk terbuat dari papan yang sudah berusia tua dan berbentuk panggung. Satu-satunya bangunan mewah di sana adalah mesjid yang berdiri di pinggir sungai Rianiate yang konon pembiayaannya dibantu oleh mantan Gubernur Sumatera Utara Raja Inal Siregar.

Mesjid ini punya sejarah yang cukup panjang, karena desa Rianiate juga termasuk perkampungan tua. Saat ini jumlah penduduknya sekitar 270 rumah tangga. Pada awalnya bangunan mesjid itu hanyalah sebuah tempat peribadatan sederhana. Alkisah, pada tahun 1939, seorang syekh pengikut tarekat naqsabandiyah datang dari Desa Tabuyung, pesisir barat. Ia mendirikan persulukan persis di pinggiran sungai Rianiate.

Suatu masa, sang syekh menghadapi masalah dengan air sungai yang dipakainya sebagai tempat wuduk. Ia merasa air sungai makin kotor oleh aktivitas penduduk di bagian hulu, sehingga syarat untuk sebuah tempat wuduk yang bersih tidak terpenuhi lagi. Setelah berikhtiar dan berdoa pada Tuhan, beliau akhirnya mendapat pemecahan yang konon datang dari sebuah mimpi.

Entah ia dapatkan dari mana, suatu hari ia membawa seekor ikan jurung besar (penduduk setempat menyebutnya ikan merah). Ikan itu ia lepas di sungai belakang mesjid dengan tujuan menjadi penyaring kotoran dari hulu. Ini sebenarnya bisa dijelaskan lewat ilmu biologi, yakni membasmi sesuatu dengan memanfaatkan sifat rantai makanan makhluk hidup. Ikan jurung tersebut memakan kotoran-kotoran dari hulu dan seterusnya berkembang biak menjadi ribuan ekor.

Untuk kelestariannya, syekh dan pengikutnya melarang penduduk mengambil dan memakan ikan-ikan itu. Sebuah kepercayaan kemudian berkembang. Sampai hari ini penduduk sangat meyakini bahwa ikan jurung itu bukanlah ikan biasa. Mereka “dilindungi” oleh sang syekh dan tidak ada seorang pun yang selamat bila berani memakan atau mengambilnya.

Menurut Henry Dalimunthe, seorang penduduk yang tinggal di tepi sungai, sudah banyak kejadian yang membuktikan keyakinan mereka itu. Suatu hari dua orang pendatang dari Padangsidimpuan menangkap dan membakar ikan untuk “teman” (tambul) minum tuak. Keduanya lantas meninggal dalam keadaan mabuk. Kemudian seorang anak muda tiba-tiba buta matanya dalam tugasnya sebagai operator alat berat untuk pelebaran sungai. Diduga, ia telah mengganggu ketenteraman ikan karena membuat sungai keruh. Beberapa kasus lain adalah orang-orang yang perutnya gembung setelah nekad mengabaikan peringatan warga.

“Kami tidak pernah melarang siapapun menangkap atau memakan ikan merah. Tapi kami sudah memberi peringatan duluan. Tapi kalau tidak percaya juga, kami biarkan saja. Jadi, jangan salahkan kami kalau terjadi sesuatu kemudian,” ujar Henry serius.

Keanehan lain yang memperkuat mitos itu adalah tingkah laku ikan yang tidak pernah jauh-jauh dari sekitar mesjid. Mereka hanya mau berenang paling jauh dalam radius sekitar 20 meter ke hilir atau ke hulu. Dalam sungai yang dangkal tersebut, ikan-ikan jurung bergerombol dan bergabung dengan penduduk yang mandi atau mencuci.

Bayangkan, ribuan ekor jurung seberat 2 kiloan berkeliaran di sekeliling Anda dengan sebagian tubuhnya tak muat lagi dalam air. Ini adalah pemandangan langka dan mungkin satu-satunya di dunia!

Sebuah kearifan tradisional telah menjaga populasi jurung di Rianiate. Entah sampai kapan hubungan unik manusia dan ikan ini bertahan. Menurut penduduk setempat, belakangan, kasus kematian ikan merah makin sering terjadi. Bila kemarau terlalu panjang, ikan-ikan mati mengambang sampai ratusan ekor. Persentuhan warga dengan produk-produk modern seperti deterjen telah mempengaruhi kualitas air sungai. Diduga, pada saat kemarau, tingkat konsentrasi pencemaran sungai menjadi tinggi, dan akhirnya membunuh ikan.

Panorama Siais dan Aek Batang Toru

Selain keajaiban ikannya, desa Rianiate masih punya simpanan lain untuk dikunjungi. Menyusuri sungai Rianiate sejauh kira-kira 1 km lagi ke hilir, kita akan berakhir pada sebuah danau yang sangat indah: Danau Siais.

Puluhan sungai besar dan kecil dari gugusan pegunungan di sekelilingnya memberikan kontribusi air, termasuk Aek Batang Toru sebagai penyumbang terbesar. Danau Siais adalah danau terluas kedua yang dimiliki Sumatera Utara setelah Danau Toba. Tapi potensi wisata ini belum terjamah sama sekali. Sebaliknya, para mafia kayu sudah mencederai duluan hutan-hutan di sekelilingnya.

Sebagai danau alam, Siais menyimpan manfaat ekonomi yang besar bagi masyarakat di sekitarnya. Warga memenuhi lauk-pauk dengan cara menangkap ikan. Sebagai sarana transportasi penyeberangan, mereka membuat sampan. Tak heran bila warga Rianiate sendiri adalah orang-orang yang terampil membikin sampan.

Bahkan, hari ini, warga Rianiate telah membuat perahu yang lebih besar untuk alat transportasi sungai. Perahu dengan kapasitas 20 penumpang itu memiliki ukuran sepanjang 15 meter dengan lebar badan 1 meter. Sebagai penggeraknya, mereka memakai mesin kompeng berbahan bakar solar. Tak kurang dari 7 perahu kompeng melayani rute Rianiate—Batang Toru dan sebaliknya setiap hari.

Dari sungai Rianiate yang sempit, perahu motor pelan-pelan menghilir ke danau, lalu keluar melalui mulut sungai Batang Toru. Setelah meninggalkan panorama Siais yang indah dan tenang, perahu kompeng selanjutnya bergerak ke hulu menentang arus Batang Toru yang cukup deras. Waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke Batang Toru sekitar 3 jam dengan jarak tempuh kira-kira 60 km.

Selama penyusuran sungai ini, panorama juga cukup menyenangkan. Beberapa jenis satwa liar seperti elang, biawak, dan monyet menjadi daya tarik pemandangan di sepanjang pinggiran sungai. Sekali-sekali, rumah-rumah penduduk yang lebih tepat disebut gubuk dapat dilihat. Penghuninya adalah anak-anak kandung pedalaman yang hidup dengan sangat sederhana.
Sungai Batang Toru adalah salah satu sungai terbesar di Tapanuli Selatan. Ke hilir, arusnya berakhir ke laut di pesisir barat setelah lebih dulu membagi airnya sebagian ke Danau Siais. Sedangkan ke hulu, Batang Toru melintasi Tarutung, Tapanuli Utara. Di sana masyarakat mengenalnya dengan nama Aek Sarulla. Saking populernya, sungai ini sudah memberi inspirasi pada terciptanya sebuah lagu Batak yang juga cukup dikenal karena sering diajarkan pada anak-anak SD. Petikannya antara lain “Aek Sarulla, tu dia ho laho. Na ginjang ma nian jalan mi…”. (Sungai Sarulla, ke mana kau pergi. Panjang kali nian jalanmu…).

Selain karena besar dan panjangnya, belakangan Batang Toru alias Sarulla juga mulai disebut-sebut karena memiliki jeram yang sangat menantang antara Desa Sipetang sampai jembatan Trikora di Batang Toru. Kelompok pecinta alam Kompas USU yang dipimpin Robert AP Lubis pertama kali mengarunginya pada tahun 2002. Menurut salah seorang aktivis Kompas USU, Popoy, sungai Batang Toru memiliki satu jeram besar dengan grade 6. Belum ada yang berani melewatinya, karena risikonya sangat dekat dengan maut. Sebagai perbandingan, arung jeram Asahan yang berkapasitas internasional, hanya memiliki jeram tertinggi dengan grade 5+ dan juga belum ada kelompok yang berani mengarunginya.
sumber:insidesumatera.com
 
BATANGTORU HARI INI Copyright © 2009 Blogger Template Designed by Bie Blogger Template